Orang Surabaya mustahil tidak tahu jika lambang kota ini bergambar hiu dan buaya. Namun benarkah dua binatang itu dipungut karena sinonim dengan kata SURA dan BAYA? taukah anda mengaitkan lambang dua hewan dengan nama Surabaya adalah salah kaprah? Mari ikuti dua seri tulisan saya tentang sejarah lambang kota yang sekarang berusia 716 tahun ini.
Kita memang telanjur akrab dengan gambar ikan hiu dan buaya yang bentuknya saling menyerang di dalam perisai segi enam. Dua hewan ini membentuk huruf S dengan latar belakang tugu pahlawan.
Lambang Kota Surabaya
Setiap orang di kota ini memang telanjur yakin jika dua binatang ini adalah asal nama Surabaya. Sura berarti ikan hiu dan baya berarti buaya. Benarkan demikian? ternyata argumentasi itu tidak berdasar. Sejak lama banyak budayawan mengritik namun dianggap angin lalu.
Pemerhati sejarah Surabaya, RM Yunani Prawiranegara, mengatakan kota ini telanjur meyakini lambang Surabaya harus diwujudkan dengan ikan hiu dan buaya yang saling serang. “Padahal antara Surabaya dengan ikan hiu dan buaya tidak terkait sama sekali,” kata anggota Tim Cagar Budaya Pemkot ini.
Tidak jelas darimana asal kata ‘sura’ sehingga lambat laun setiap orang akrab memadankan kata ‘sura’ adalah ‘ikan hiu’. Padahal di kamus Jawa kuno tidak dikenal padanan kata ‘sura’ dengan ikan hiu. Di dalam bahasa bangsa-bangsa yang pernah mewarnai kebudayaan kota ini juga tidak ditemukan makna ‘sura’ yang bisa diartikan dengan ikan hiu. Bahasa Belanda, Portugis, Arab, China, menyebut ikan hiu dengan beragam jenis kata namun tidak ada kata yang 'sama pada pokoknya' dengan kata sura.
Lantas bagaimana asal muasal lambang kota ini sehingga selalu dikaitkan dengan Surabaya? saya mencatat Lambang yang resmi tertempel di kop surat pemkot Surabaya ini ditetapkan oleh DPRS Kota Besar Surabaya dengan Putusan no 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955, ini diamini Presiden Sukarno dalam Keputusan Presiden RI No 193 tahun 1956 pada 14 Desember 1956.
Baru tahun 1950an, dua binatang itu dibuat saling serang dan makna sura ing baya menjadi salah kaprah ikan sura dan buaya
Dua binatang dalam lambang itu jelas bukan ide orisinal. Karena sebelumnya Gemeeente van Soerabaia alias pemkot Surabaya di masa Hindia Belanda juga mengambil dua binatang ini sebagai lambang. Silakan buka sendiri buku buku sejarah.
Bedanya, lambang yang sekarang terkesan lebih heroik karena dua binatang itu saling serang, sementara lambang zaman Gemeeente kedua hewan ini pada posisi tidur sejajar di sebuah perisai warna biru langit. Ikan hiu di sisi atas menoleh ke kiri, dan buaya di bawah menghadap ke kanan. Keduanya berwarna perak.
Di atas perisai terdapat gambar benteng yang mahkota warna emas. Sisi kiri-kanan perisai dipegangi dua singa Neerlandia (Nederlandse Leeuwen) berwarna emas dengan lidah dan kuku berwarna merah menjulur. Di bagian bawah ada pita bertuliskan "Soera-Ing-Baia".
Singa kembar mengapit prisai dengan pita di bagian bawah dan benteng di bagian atas adalah ciri lambang kolonial era 1900-an. Lambang ini berlaku di semua kota di Hindia Belanda, gemenete van Soerabaia atau Pemkot Surabaya yang lahir pada 1 April 1906 juga ingin lambang kota.
Lambang sebuah ikan dan buaya itu sebenarnya usulan LCR Breemen, bos Bank Nutsspaark di Surabaya. Sia berdalih lambang dua hewan itu pantas karena dasar mitos. Namun Breemen hanya mengusulkan karena yang merancang desain grafisnya adalah Genealogisch Heralsch Leeuw atau perhimpunan ahli lambang di Belanda.
Baru pada 1920, lambang dua hewan dalam perisai itu menjadi kop surat dan stempel resmi Gemeeente van Soerabaia.
Namun orisinilkah lambang itu? ternyata tidak.
Logo pertama yang menggambarkan hiu dan buaya. Menjadi panji panji grup musik
Setelah ditelusuri, logo ini ternyata dicomot dari lambang yang tersohor Surabaya era 1800-an. Ikan hiu dan buaya digambarkan berjajar. Keduanya tidak saling serang, namun tidur dengan posisi kepala yang berbeda.
Dua binatang ini digambar di dalam perisai. Bagian kanan kiri dan belakang terdapat ornamen dedaunan dan pita. Sementara bagian atas perisai terdapat gambar benteng yang modelnya sederhana. Kalau ingin tahu modelnya silakan datang ke bekas pelabuhan kalimas yang lokasinya di depan Pasar Pabean. di sana ada satu-satunya bangunan bermenara yang dulu menjadi menara pantau Sjahbandar. Lambang era 1800an ini menjadi ornamen menara. Juga sekarang bisa dilihat di ornamen mozaik gedung pusat kebudayaan Prancis CCCL di Darmokali.
Inilah lambang yang pertama kali mengangkat gambar dua binatang. Namun lambang itu juga tidak jelas asal usulnya. Ikuti tulisan berikutnya untuk mengetahui alasannya.
Inilah Kisah Muasal Logo Surabaya
Lambang ikan hiu dan buaya yang kini digunakan sebagai logo resmi pemerintah kota Surabaya sebenarnya bukan ide orisinil. Sebab institusi kota baru lahir 1 April 1906. Kini taukah anda jika logo bergambar dua hewan itu awalnya milik sebuah grup musik zaman Belanda? Ikuti ceritanya
Sejumlah literatur sejarah mengungkapkan logo tertua model ikan dan buaya itu ditemukan arkeolog Belanda tahun 1920 dari penning atau prasasti tua yang dibuat untuk memperingati 10 tahun usia Perkumpulan Musik St Caecilia (1848 - 1858).
Logo ini juga diyakini dibuat dari kain bludru yang dibordir di bendera yang menjadi panji panji perkumpulan musik ini. Logo itulah yang dipajang di setiap pementasan di bagian pinggir panggung para pemain musik.
Mungkin karena bentuk logonya unik, Di tahun 1848, sebuah koran dagang Hindia Belanda tertua yang terbit di Surabaya, Soerabaiasche Courant, meletakkan lambang ini di kop koran sebagai logonya.
Namun saat itu tidak jelas apa filosofi di dalam logo ini karena tidak pernah ada catatan.
Belakangan, logo ini menjadi idola. Di mulut cerita rakyat Surabaya muncul cerita mitos pertarungan ikan hiu dan buaya. di jembatan merah yang mengubah pagar jembatan menjadi peranh karena darah kedua binatang. Kemudian bangkainya dimakan Semut sehingga dikenal ada Kampung Semut di pinggir Kalimas.
Namun belum bisa diketahui mana yang lebih dahulu muncul, logo atau cerita rakyat itu. yang pasti di logo lawas itu kedua hewan itu tidak dalm posisi bertarung. Namun tidur damai. Posisi keduanya bertarung baru terlihat di logo terbaru 1950 sampai sekarang.
Faktanya St Caecilia telah menjadi insiprasi. Logo ikan dan buaya itu sudah terlanjur menjadi identitas kota. Selain di kop surat kabar, juga menjadi tren di bangunan bangunan baru hingga awal 1900an. Mulai di ornamen kaca pintu masuk gedung NIAS (Fakultas kedokteran Unair), keramik tembok di rumah tinggal yang sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Darmokali, gedung bekas menara sjahbandar di Kalimas Baru. Bahkan dua tahun lalu, logo dua hewan ini masih terlihat di ornamen di tengah gevel salah satu bangunan lawas di Jl Bubutan. Namun kini bangunan itu sudah hilang dan berganti ruko.
Yang masih relatif bagus adalah logo yang tertempel di depan ruang guru SMA Trimurti Jl Gubernur Suryo. Logo dari baja ini adalah koleksi museum peninggalan sejarahwan GH Von Faber. Museum yang didirikan Faber itu tutup tahun 1950, kemudian gedungnya menjadi SMA Trimurti.
Menurut pengamat sejarah yang juga anggota tim cagar Budaya Surabaya, RM Yunani, logo dua bintang itu sebuah mitos atau cerita binatang atau fable yang sangat lemah dasar kesejarahannya. ‘’Tidak ada kitab atau serat yang yang menulis legenda pertarungan ikan hiu dan buaya. Ini hanya cerita lisan yang tidak jelas asal usulnya,’’ kritiknya.
Sementara itu di buku bertitel Soerabaia, yang terbit Februari 1864, semakin lengkap menjawab teka-teki asal muasal simbol itu. Buku ini ditulis sejarahwan zaman Hindia Belanda J Hageman J Cz, dalam buku yang terbit Februari 1864, Hageman mengatakan sejak muncul logo itu sudah menjadi kontroversi.
Banyak orang yang mengaitkan logo ikan dan buaya itu maksudnya adalah kependekan dari kata Surabaya. Padahal ia menganggap belum pernah ada istilah Jawa yang menyebut suro atau sura adalah nama seekor ikan apalagi ikan hiu. Dalam catatannya yang telah disadur dalam bahasa Inggris itu, Hageman bahkan mencontohkan nama sejumlah kota di Jawa yang ada kata Sura namun tidak ada kaitannya dengan Ikan hiu.
Logo tahun 1920. mulai ada kata Soera Ing Baia. Artinya bukan ikan sura dan buaya, tapi berani melawan bahaya
Di antaranya Surakarta dan Kartasura. Bahkan sebutan sejumlah pahlawan legenda di Jawa juga mengandung kata SURA, seperti, Suramenggala, Suradilaga, atau Surapati. Kata Hagemen, ‘SURA’ dalam semua penyebutan itu berarti BERANI, tidak ada kata lain selain kalimat itu.
Kalimat "Soera ing Baia" di dalam logo Surabaya 1920 semakin menguatkan jika antara logo dan semboyan itu tidak terkait sama sekali. Karena "Soera Ing Baya" adalah berasal dari bahasa Jawa yang artinya "Berani Melawan Bahaya". Sementara maksud ditampilkannya dua hewan itu tetap menjadi teka-teki sampai sekarang.
Baru tahun 1950an, dua binatang itu dibuat saling serang dan makna sura ing baya menjadi salah kaprah ikan sura dan buaya.
*http://arkeologi.web.id/articles/mitos-legenda-dan-tutur/2300-logo-surabaya-salah-kaprah
No comments :
Post a Comment